| 4 komentar ]
Desa Candikusuma, adalah sebuah desa yang terdiri dari wilayah pantai dan perkebunan, terletak di pesisir selatan Bali Barat. Desa ini menjadi bagian dari Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana.

Proses pembentukan wilayah yang bernama Candikusuma ini, dapat dipelajari dari beberapa peninggalan sejarah dan kebudayaan, maupun proses alamiah yang mendukung terbentuknya peradaban sosial dari dulu hingga sekarang di wilayah ini. Beberapa peninggalan sejarah dan kebudayaan tersebut antara lain:
  1. Sebuah candi bersegi tiga yang disebut Tugu Candikusuma
  2. Sebuah sumur suci bernama Sumur Bulus
  3. Paras Pihpih (batu padas terbentuk pipih dari proses alamiah) yang merupakan tebing sungai terbesar di Desa Candikusuma, yakni sungai Danghyang Gede atau Sungai Sanghyang.
  4. Sebuah pura peninggalan sejarah bernama Pura Dangkahyangan Indra Kusuma
  5. Sebuah sumber air mengalir di tepi pantai yang diberi nama Tukad Danghyang Cerik
Sementara itu, untuk mengetahui kapan dibentuk dan siapa yang membentuk Desa Candikusuma, dapat dipelajari dari:
  1. Buku/Lontar No. 1705 VI.b, yang tersimpan di Gedung Kertiya Singaraja, tentang perjalanan seorang pendeta/guru besar agama Hindu, Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang sempat singgah di Candikusuma dalam perjalanan menuju Gelgel, Klungkung.
  2. Arsip pembukaan perkebunan kelapa, kopi dan coklat di Candikusuma oleh seorang tokoh Belanda bernama Dumay sekitar tahun 1897 dengan Hak Erf Pacht.
Dari peninggalan-peninggalan sejarah dan kebudayaan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Desa Candikusuma terbentuk melalui sejarah yang terkonsep secara sosial budaya, di mana sejak kelahirannya desa ini sudah memiliki jejak-jejak kehidupan manusia yang terbentuk dalam sebuah komunitas kemasyarakatan.

Perjalanan Pedanda Sakti
Secara singkat, dikisahkan perjalanan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh dari Blambangan (Jawa Timur) menuju Gelgel (Klungkung-Bali), diiringi istrinya yakni Danghyang Istri Sakti yang sedang hamil tua serta putrinya yang bernama Ida Ayu Swabawa. Mereka sempat singgah di Candikusuma, mendarat di tanjung pasir berhutan lebat. Kehadiran mereka diterima oleh dua orang warga bernama Pan Jebah dan Pan Bulus. Ketika baru mendarat di pantai, Ida Ayu Swabawa menyatakan rasa hausnya dan meminta air minum. Ida Pedanda Sakti lalu memuja dan mohon air tawar kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Saat itulah muncul air yang bersumber dari dalam tanah dan terus mengalir membentuk sungai kecil. Aliran air tersebut kemudian diberi nama Tukad Danghyang Cerik (sekarang lebih populer dengan nama Tukad Sanghyang Cerik).

Selama persinggahannya itu, Pedanda Sakti Wawu Rawuh juga sempat memberikan tuntunan agama (Hindu) kepada warga setempat, baru kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Gelgel.

Oleh karena Danghyang Istri dalam keadaan hamil tua, maka beliau tidak turut ke Gelgel dan memutuskan untuk menetap di Candikusuma. Pedanda Sakti meninggalkan istrinya dengan sebuah keris dan sebuah sumber mata air untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Lokasi tempat tinggal istrinya itu diberi nama Griya Indraloka, sedangkan sumber air yang ditinggalkannya diberi nama Sumur Bulus.

Dengan hanya diiringi oleh putrinya, Pedanda Sakti Wawu Rawuh berangkat menyusuri pantai ke arah timur menuju Gelgel.

Berselang beberapa lama, oleh karena tidak kuat dengan angin laut yang cukup besar dan bisingnya deruan ombak, Danghyang Istri memilih pindah tinggal ke arah barat laut dari Indraloka, di tepi Sungai Danghyang Gede di lokasi Pura Dangkahyangan Indra Kusuma. Di tempat inilah Danghyang Istri moksa dengan meninggalkan seorang putra bernama Ida Bagus Bajra yang kemudian juga pralina di sana.

Perkebunan Dumay
Tahun 1897, seorang tokoh Belanda (VOC) membuka perkebunan kelapa, kopi dan coklat di kawasan barat Desa Candikusuma. Tetapi pembangunan kawasan perkebunan yang luasnya mencapai 100 hektar ini sering mendapat gangguan binatang buas dari darat (hutan) berupa harimau dan wadak (banteng hutan). Sementara gangguan dan serangan dari laut juga tidak kalah besarnya, yakni serangan buaya yang datang dari Tukad Danghyangh Cerik.

Berbagai upaya untuk mengusir gangguan binatang buas tersebut telah dilakukan oleh Dumay bersama para buruh perkebunannya, termasuk menggunakan senjata api. Tetapi gangguan binatang buas bahkan semakin mengganas dan memakan banyak korban para pekerja perkebunan.

Kondisi ini kemudian membuat Dumay mengambil keputusan untuk mengundang tokoh dari Puri Gede Jembrana (pusat pemerintahan Kerajaan Jembrana saat itu), untuk diajak bersama-sama melakukan ritual (persembahyangan) di lokasi bekas Geria Indraloka. Adapun tokoh puri yang datang adalah Anak Agung Gede Kangsa beserta putranya Anak Agung Putu Brata. Atas permintaan Dumay, persembahyangan (meditasi) dilakukan bersama empat orang, termasuk putra dari Dumay yang bernama Beber. Dalam persemedian berempat itulah mereka melihat sebilah keris bersinar muncul dari dalam tanah. Dijelaskan oleh keempatnya, bahwa keris yang muncul tersebut bermata tiga. Maka selanjutnya, di tempat munculnya keris itulah oleh Dumay didirikan sebual pal bersegitiga dengan nama Tugu Candikusuma.

Sejak pembangunan Tugu Candikusuma itu pula, kawasan Candikusuma diberi nama Pesedahan Candikusuma dengan ketentuan administratif sebagai berikut:

Wilayah Pesedahan Candikusuma dengan batas:
  • Timur : Sungai Tukadaya
  • Selatan : Lautan
  • Barat : Hutan bagian barat
  • Utara : Hutan bagian utara.
Resort kehutanan juga disebut Kehutanan Candikusuma.
Pelabuhannya juga disebut Pelabuhan Candikusuma.
Banjar (kawasan pemukiman) yang tua juga disebut Banjar Candikusuma.

Pemerintahan Desa Pertama
Akan tetapi pada tahun 1945 di mana Sa’ad sebagai pejabat pertama Kepala Desa, yang wilayahnya mencakup Sangyang Cerik dan Kepah, maka ditetapkan nama desa menjadi Desa Sanghyang Cerik.

Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya, tanggal 16 Maret 1976, keluarlah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jembrana, Nomor: Pem/II.a/20/1976, yang menentukan batas-batas wilayah untuk memudahkan administrasi desa. Sejak saat itu pula nama Desa Sanghyang Cerik dikembalikan ke nama semula yaitu Desa Candikusuma. Hal ini dilakukan dengan mengingat catatan sejarah yang sudah banyak dikenal oleh umum tentang Desa Candikusuma. Di samping itu, tidak pula dapat dikesampingkan bahwa Kawasan Candikusuma mempunyai andil besar di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, karena di daerah inilah tempat pendaratan para Pemuda Pejuang Kemerdekaan.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI, tak akan terlupakan pertempuran di kawasan Kenari (Bali Barat) yang mengakibatkan gugurnya pahlawan bangsa Saestuadi. Di samping Kawasan Kenari, pertempuran antara Pemuda Pejuang dengan Tentara gajah Merah (Sekutu) juga terjadi di kawasan Banjar Moding/Pangkung Belatung (salah satu banjar di bagian utara Desa Candikusuma), yang mengakibatkan gugurnya 7 (tujuh) Pemuda Pejuang. Dengan hal ini pula, Desa Candikusuma dinyatakan sebagai salah satu pusat pertahanan untuk Bali Barat.

4 komentar

angkringan mengatakan... @ 22 Januari 2012 pukul 14.35

sungguh indah. bisa kirim-kirim info ke www.angkringanwarta.com

Unknown mengatakan... @ 18 November 2015 pukul 20.59

Mantap....apakah ada yg punya foto-foto candikusuma tempo dulu, sebagai bahan pendalaman pengetahuan sejarah ?

Unknown mengatakan... @ 25 Oktober 2016 pukul 13.43

Kepala desa pertama sanghyangcerik itu moyang saya.. tks infonyaa bagi penulis ini..

Unknown mengatakan... @ 21 Februari 2020 pukul 22.50

Wahhhh desaku tercinta

Posting Komentar

Terima Kasih atas Komentar Anda.