[14.58
|
0
komentar
]
Ingin belajar berdemokrasi dengan sungguh-sungguh? Datanglah ke Desa Candikusuma!
Sudah satu dasa warsa lebih wacana demokrasi menjadi hingar-bingar di negeri tercinta Indonesia. Dimulai dengan momentum reformasi 1998, setiap orang di Indonesia menjadi fasih menyebut “demokrasi”. Lebih-lebih para elit politik, dalam setiap kesempatan mereka selalu berkata: “Ini demi demokrasi!” “Ini demi menyelamatkan demokrasi!” Tetapi apakah semua itu benar-benar terbukti? Apakah perilaku para elit politik sudah bernar-benar demokratis? Tak ada yang bisa menjawab dengan pasti.
Tetapi sekali lagi, cobalah menengok ke sebuah desa di wilayah pinggiran Bali Barat, Kecamatan Melaya, Jembrana. Jika kita mau jujur melihat, desa yang bernama Candikusuma ini sungguh telah memberi kita pelajaran bahwa demokrasi justru lebih dihormati oleh masyarakat di pedesaan, oleh masyarakat yang tidak pernah belajar politik seperti halnya para politikus yang ada di partai-partai politik itu.
Seperti halnya Indonesia, penduduk Desa Candikusuma adalah warga masyarakat yang heterogen. Secara garis besar, masyarakat Desa Candikusuma terdiri dari tiga komunitas pemeluk keyakinan berbeda, yaitu Hindu, Islam dan Kristen. Tetapi yang mayoritas hanyalah dua, yakni Hindu dan Islam. Sementara umat Kristen di Candikusuma tidak lebih dari 1 (satu) persen dari seluruh penduduk.
Yang kemudian membuat desa ini terasa istimewa dalam konteks demokrasi, bahwa ternyata kepala desa yang kini memegang tampuk pimpinan adalah seorang Kristiani alias beragama Kristen. Kepala desa ini terpilih secara demokratis melalui pemilihan langsung oleh warga masyarakat Desa Candikusuma yang mayoritas Hindu dan Islam, tahun 2007 yang lalu. Tepatnya, Pak Kades yang bernama lengkap I Wayan Bagia Yasa ini dilantik menjadi Kepala Desa Candikusuma pada 20 Agustus 2007.
Maka sungguh, kita mesti belajar dari fenomena politik di Desa Candikusuma. Bahwa warga masyarakat bawah di desa yang penghuninya mayoritas petani dan nelayan ini, tidaklah pernah mengedepankan sentimen agama, tidaklah pernah mempersoalkan isu SARA dalam perilaku maupun kehidupan sosialnya sehari-hari. Beda benar dengan mereka yang sering mengaku elit di kancah politik nasional!
0 komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas Komentar Anda.