| 3 komentar ]

Pemilu untuk memilih wakil rakyat yang duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPD telah dilangsungkan 9 April lalu. Namun demikian, dampak pasca pemilihan umum masih terasa hingga saat ini. Ribut-ribut masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang konon menyebabkan jutaan warga negara kehilangan hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat diklaim menjadi penyebab utama cacatnya pesta demokrasi kali ini. Bahkan, gabungan beberapa partai politik menyatakan bahwa Pemilu kali ini merupakan Pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia. Sebuah cermin pesta demokrasi yang konon sangat jauh dari asas yang jujur, bermartabat, adil, dan demokratis.

Banyaknya masalah, terutama validitas DPT yang berbuntut hilangnya hak konstitusi sedikitnya enam juta penduduk Indonesia. Seperti dilansir di beberapa media, sejumlah pimpinan parpol menyatakan dengan tegas bahwa telah terjadi pelanggaran hak konstitusi warga negara akibat hilangnya jutaan hak suara penduduk Indonesia pada pemilu kali ini.

Kisruh DPT juga dialami masyarakat di Bali, pun di Kabupaten Jembrana. Dan tampaknya, masalah validitas DPT yang senantiasa mewarnai perjalanan pesta demokrasi ini cukup membuat Bupati Jembrana, Prof. Dr. drg. I Gede Winasa gerah.

J-Id
Belum lama ini, Pemkab Jembrana menerbitkan J-Id (Jembrana Identitas Diri). Di samping sebagai kartu tanda penduduk yang terintegrasi dengan kartu kesehatan, J-Id juga dinilai mampu menjaga hak-hak konstitusi masyarakat. “Dengan kartu ini, seluruh masyarakat Jembrana pasti bisa menggunakan hak konstitusinya sebagai warga negara,” tegas Bupati Winasa dalam sebuah kesempatan.

Untuk pertama kalinya, J-Id digunakan dalam Pemilihan Kepala Dusun (Pilkadus) yang digelar di Dusun Pasatan, Desa Pohsanten, Kecamatan Mendoyo pertengahan April lalu. Meski J-Id baru digunakan dalam pesta demokrasi berskala kecil, Prof. Winasa menjamin tidak akan terjadi penggunaan hak pilih ganda atau kisruh DPT dalam pemilihan, termasuk dalam pemilihan yang berskala lebih besar.

“Penggunaan kartu ini juga menjamin tidak akan terjadi kecurangan dalam setiap Pemilu. Masyarakat tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya lebih dari sekali, karena ketika mereka telah menjatuhkan pilihannya terhadap salah satu calon, otomatis gambar calon bersangkutan yang sebelum disentuh muncul di touch screen, setelah disentuh akan hilang. Kalau mereka tetap mencoba menyentuh untuk kedua kalinya, tetap tidak bisa dilakukan karena NIK (Nomor Induk Kependudukan) sudah diregistrasi di dalam sistem,” ungkapnya.

Dengan jaminan keamanan dan kerahasiaan tersebut, Prof. Winasa menilai kartu tersebut layak digunakan dalam setiap pesta demokrasi, bahkan dalam skala nasional sekalipun. “Saya pikir, sistem seperti ini bisa diterapkan bahkan pada skala nasional sekalipun. Namun sistem yang digunakan bukan lagi sistem NIK, tapi dengan sistem sidik jari. Dengan sistem sidik jari, masalah keamanan data dan peluang terjadinya pemilih ganda bisa ditekan bahkan sampai dengan angka nol,” lanjut Prof. Winasa.

Sebelum diluncurkan, Kartu J-Id tersebut juga telah dikonfirmasikan ke MenPAN (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara). Sementara itu, anggota KPU Provinsi Bali, Dewa Raka Sandi, yang ditemui di sela-sela proses pemungutan suara Pilkadus Pasatan, mengapresiasi positif sistem pemilihan ini. Menurut Sandi, bukan hal mustahil jika sistem ini diterapkan secara nasional dengan catatan sudah terbukti mumpuni dan tahan terhadap serangan-serangan hacker.

“Dengan sistem ini, terbukti tingkat pelanggaran terhadap DPT bisa ditekan, waktu yang digunakan untuk pemungutan dan penghitungan suara cukup singkat, dan biaya yang lebih murah. Bukan tidak mungkin sistem ini akan diterapkan secara nasional, dengan catatatan sistem ini sudah tahan dari serangan para hacker. Kalau simulasinya sudah berhasil, ya, tinggal tunggu waktu saja," demikian Raka Sandi.

Inilah formula baru yang ingin ditawarkan Bupati Jembrana Prop. Winasa. Jika memungkinkan, Prof. Winasa berharap agar dalam kartu tersebut juga dapat digunakan saat pelaksanaan Pilbup Jembrana mendatang, untuk menjaga hak konstitusi masyarakatnya. Untuk itu, saat ini pihaknya tengah melakukan koordinasi dan konsultasi ke KPU Jembrana, KPU Bali, dan KPU Pusat. Selain itu, Bupati Winasa juga tengah melakukan koordinasi dengan KPU penyanding seperti KPU Jawa Timur dan KPU Nusa Tenggara Barat untuk berkoordinasi masalah kemungkinan adanya "impor pemilih".

“Kalau kartu ini dapat digunakan pada Pilbup Jembrana tahun depan, saya pikir kisruh seputar DPT tidak akan terjadi lagi. Selain itu, penggunaan kartu ini juga akan menimbulkan efisiensi biaya hingga 75%. Bayangkan jika seluruh Indonesia bisa menggunakannya, berapa milyar dana Pemilu yang dapat ditekan? Untuk itu, kami segera berkoordinasi dengan KPU setempat dan KPU Provinsi penyanding untuk menjajaki kemungkinan tersebut, termasuk kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang ada,” demikian Prof. Winasa.

Disunting dari Tabloid Independen News, Jembrana

3 komentar

believe for life mengatakan... @ 1 Mei 2009 pukul 19.51

ya, sudah berkali-kali negara kita menyelenggarakan pemilu, tapi pelaksanaannya belum juga mendekati sempurna. demokratis sih demokratis katanya, tapi demokratis yang masih menurut versi siapa... hehehe...

terobosan yang digagas dan dilakukan Bupati Winasa (Pemkab Jembrana), patut mendapat apresiasi positif dari semua kalangan, dan layak dijadikan bahan studi bersama.

pertanyaan saya, kenapa sih inovasi di bidang birokrasi pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat selalu lahir dari Jembrana? salam sukses buat Desa Candikusuma dan Kabupaten Jembrana!

Anonim mengatakan... @ 20 Maret 2010 pukul 08.05

Tapi apakah orang percaya pada sistem IT, umpamanya sistem pemilihan/Voting di DPR/MPR saja lebih memilih sistem manual daripada menggunakan IT.

ALEXA PHOTO - jasa prewedding di negara/jembrana mengatakan... @ 25 Juli 2015 pukul 20.17

bagaimana perkembangan teknologi jembrana sekarang ini?

Posting Komentar

Terima Kasih atas Komentar Anda.